”Mau kawin, takut punya anak” ”Mau kawin, takut punya anak”

Sunday, January 10, 2010

”Mau kawin, takut punya anak”

. Sunday, January 10, 2010

Masa remajaku kembali kukenang. Sebagai remaja, saya tumbuh dengan penuh kenangan. Mulai dari kenangan pahit hingga kenangan manis. Pahit bagai menelan pil clorocuin. Pil ini paling banyak beredear di toko obat, mengingat tempatku tumbuh penuh dengan serangan malaria. Manis bagai kembang gula yang banyak disukai lidah anak-anak.


Sebagai remaja kala itu mau tampil total, meski tidak di dukung dengan materi. Lalu bagaimana caranya bisa tampil maksimal? Segala cara memang ditempuh. Mulai dari bergaul dengan remaja lainya yang telah didukung oleh materi.

Kala itu, kebetulan saya memang banyak bergaul dengan remaja dari kalangan yang berada. Kala itu juga saya banyak aktif dalam sebuah perkumpulan seni yang dikomandani sahabatku, Inu Kencana Syafie (mantan dosen STPDN)

Tepatnya teater pringgondani merauke adalah nama perkumpulan seni itu. Dalam teater ini kita dikenalkan berbagai ilmu, seperti olah vokal, akting, drama, puisi, pantomim dan sebagainya. Anggotanya berasal dari berbagai perwakilan sekolah. Anggota juga terdiri dari remaja putri dan remaja putra.

Disnilah cinta monyet mulai berseri. Ketika jadual latihan suatu pelajaran berlangsung, maka inilah waktu yang saya tunggu-tunggu. Untunglah anggota teater dari kaum hawa tidak ada yang paling menonjol dalam hal phisik. Rata-rata dibawah ganteng. Yang ganteng memang ada tapi bisa dihitung dengan jari. Lagi pula yang ganteng ini sudah menjalin cinta dengan putri yang bukan aku naksir.

Saya tampil total pada saat latihan. Dengan harapan menarik perhatian anggota lainnya, bahwa saya bisa tampil total dalam memainkan sebuah peran. Teater ini memang akan tampil dua episoda masing masing dengan judul, monserat dan lancang kuning berlayar malam.

Cinta pertamaku memang hadir disini. Sebut saja ninok nama putri yang menjadi dermaga cintaku berlabuh. Dalam dua adegan drama yang ditampilkan, ninok memang hanya memainkan sebagai peran pembantu. Saya pun tampil total dengan harapan lagi-lagi Ninok mengagumi peranku. Bukan mengagumi sosok ku diluar adegan drama itu.

Usai penampilan, seluruh anggota teater memberi salam. ”sukses, bagus sekali” demikian pujian satu persatu saya terima. Hm.. giliran ninok yang akan kujabat tangannya. Gemetar dan grogi bercampur dalam hatiku. ”selamat ya mas, bagus sekali penampilannya” ungkap ninok. ”Terima kasih,” jawabku pendek tapi tatapan mataku ke mata hitamnya lebih lama.

Sang komandan teater datang membubarkan jabatanganku pada putri yang menjadi menyemangat dalam melakoni peran sebagai monserat. ”selamat kawan, penampilanmu sangat bagus” ungkap Inu.

Saat itu rasanya sudah mau memeluk dan mencium pipi ninok. Tapi lagi-lagi saya masih memiliki rasa malu. Dari raut wajah ninok saat kupegang tangannya ada isyarat menerima gelora cintaku. Saat itupula sempat dalam hati saya bergumam, ”ninok kita punya anak berapa kelak”

Singkat cerita, saya dan ninok resmi pacaran. Teman-teman se teater juga sudah mengetahui. Bahkan orang tua ninok pun telah mengetahui. Tapi saya tidak tahu apakah ia merestui hubungan kami berdua.

Satu hal yang membuat saya tidak bisa tidur adalah ketakutan. Ketakutan punya anak. Kalau sudah punya anak, nantinya mau membiayai pakai apa? Menghidupi pakai apa? Dalam hatiku sudah bercampur jadi satu. Antara cinta dan tanggung jawab.

Kegundahan hati saya juga diketahui sang komandan, Inu Kencana. Saat itu juga Inu status masih single. Pertemuan dengan Inu sering berlangsung di rumah sahabat ku Wondo. Wondo, Inu adalah dua sahabat yang paling dekat dan akrab dengan saya. Selain diskusi seni teater kami pun sering diskusi tentang cinta dan keluarga.

Kegundahan saya sempat dibahas dalam tri party. Bicara cinta dan seni, Inu lah jagonya. Sementara Wondo hanya bicara soal pandangan. Ketika saya utarakan hubungan saya dengan Ninok, dua sahabatku ini hanya ketawa.

”begini kawan, punya anak dan keturunan adalah salah tujuan dari suatu pernikahan” kata wondo.
”lagi pula jangan takut punya anak, Tuhan itu maha mengetahui” tambah Inu
Dua ungkapan sahabat itu belum lah rasanya membuat kekuatan dalam hatiku. Saya hanya ingin menikah, lalu kawin dan tidak mau punya anak.

Ketidak mauan punya anak disebabkan bayangan harus beri makan, harus beli pakaian, harus sekolahkan dan sejuta lagi alasan yang mampir dalam benakku. Sementara dukungan pribadi dalam hidup saya sangat jauh dari kehidupan yang ditunjang dengan materi.

”wah itu namanya mau enak, tidak mau susah” ungkap wondo
”Tuhan itu Maha Pengasih dan Maha Penyayang” tambah Inu
”mau kawin tapi takut punya anak” tambah wondo
”Nah inilah yang tepat kawan” kataku
Diskusi saat itu memang tidak membahas lagi materi teater. Lebih banyak curhat tentang kawin dan anak. Diskusi ini tak terasa hingga nyonya wondo bangun menyiapkan sarapan pagi dan minuman hangat.

Diskusi ini membuat konsentrasi saya tidak fokus pada peran di teater. Yang ada dalam benakku bagaimana ketika ninok menjadi istriku. Dia wanita cantik, saya takut ada laki-laki yang mengambilnya. Tapi sayang kekwatiranku tidak didukung oleh keberanian yang saya miliki.

Akhirnya tidak ada kepastian dari saya, Ninok pun diboyong orang lain. Yang ada Cuma bayangan dan khayalan ”Kawin dengan Ninok, nikmati cinta di tempat tidur dan ninok tetap cantik karena tidak punya anak” itulah bayanganku sekaligus kenanganku bersama teater pringgondani di Meruake – Papua.


Note :
Saya kehilangan jejak sahabat Inu Kencana Syafie.adakah pembaca yang mengetahui keberadaannya? Mohon bantuan infonya ke jalur pribadi saya di 580731@gmail.com terima kasih sebelumnya.


0 komentar :

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

Terimakasih banyak atas kunjungannya