Mensyukuri Musibah? Mensyukuri Musibah?

Monday, October 1, 2012

Mensyukuri Musibah?

. Monday, October 1, 2012

Oleh: M.Junaidi Sahal Busyri

Kesedihan dan kegembiraan, sukses dan kegagalan, pertemuan dan perpisahan, cinta dan kebencian, hidup dan kematian,adalah kenyataan yang pasti dihadapi oleh manusia. Dimana setiap orang pasti mengalami hal yang sama untuk melalui dua sisi kehidupan tersebut. Yang berebeda pada setiap orang adalah respon atau sikap dalam menghadapi kenyataan adanya dua sisi kehidupan itu. Ada yang menghadapi kecintaan, kesenangan, kebahagiaan pertemuan dan kehidupan dengan respon yang berlebihan. Seolah ia akan abadi dan tidak berpisah dengan kenyataan yang menyenangkan itu. Dan ada pula yang menatap setiap kesedihan, kegagalan, perpisahan, kebencian dan kematian dengan respon yang berlebihan pula, seolah dia tidak akan menemuinya kembali.


Ketahuilah, apa yang anda kira abadi berada dalam kebahagiaan itu,sungguh ia akan berpisah dengan anda. Dan apa yang anda kira tidak akan menemui kebencian, kesengsaraan dan kematian, sungguh ia akan menemui anda. Ingatlah !, malam yang disangka abadi akan berganti siang dengan munculnya matahari dari ufuk timur, dan demikian juga dengan ketidakabadian siang dengan lenyapnya matahari dibatas cakrawala barat sebagai pertanda malampun tiba.

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu…”. Demikian Alloh SWT katakan dalam QS.Al.Baqoroh 216.

Manusia dalam menghadapi kenyataan hidup tersebut terbagi kepada empat (4) karakteristik.

Pertama

Dengan kebahagiaan dan kenikmatan, ia mengingkari bahwa itu semua dari Alloh SWT.Ia mengira semua kenikmatan itu dihasilkan oleh dirinya sendiri, Dan apabila ia mendapatkan musibah,kesengsaraan dan penderitaan dalam hidupnya ia tidak sabar bahkan memprotes ketidakadilan Alloh SWT. Manusia model pertama ini adalah manusia yang kafir, yaitu manusia yang sangat buruk perangainya, The Beast Human, dalam bahasa Al Qur’an ,disebut dengan Syarrul Bariyyah. Bagaimana tidak disebut The Beast Human, ia menikmati kehidupan tapi ingkar terhadap Sang Pemberi nikmat hidup dan kehidupan. Dan manusia inilah yang telah diberi peringatan dengan adzabNya yang pedih, ”Lain kafartum inna ‘adzabi la syadid, jika kalian ingkar (terhadap nikmat Alloh), sesungguhnya adzabKu amatlah pedih.”QS.Ibrahim 7

Kedua

Muslim, yaitu manusia yang ketika mendapat nikmat bersyukur kepadaNya dan ketika mendapatkan musibah ia bersabar. Inilah tingkatan pertama dari orang-orang yang beriman. Yang ia bersyukur dengan mengucapkan hamdalah ketika ia mendapatkan nikmat, misalnya selesai makan ia bersyukur dengan mengucapkan hamdalah, alhamdulillahirobbil alamin. Namun tidak jarang, manusia pada kualitas iman pada karakteristik muslim ini, baru mengucapkan hamdalah setelah ‘glegekan’ atau sendawa. Dan ketika mendapatkan musibah ia bisa bersabar, yaitu pada tataran bisa menahan diri untuk tidak emosional sekalipun masih belum bisa menerima terhadap musibah tersebut.

Ketiga

Mukmin, yaitu manusia yang memiliki kualitas keberimanan melebihi seorang muslim. Orang-orang yang mukmin, ketika mendapatakan nikmat, ia bersyukur dan ketika tertimpa musibah ia ridlo dengannya.Ini yang mungkin dimaksud Rosululloh SAW dengan sabdanya : “ ‘Ajaban li amril mukmin…,Sebuah keajaiban bagi seorang mukmin,jika dia mendapat nikmat ,bersyukur dan jika mendapatkan musibah ia bersabar (yaitu ridlo kepadaNya)”. Bagi seorang mukmin tidak cukup merespon nikmat dengan hamdalah tapi ditambah dengan memperbaiki kualitas ibadahnya kepada Alloh SWT. Demikian pula ketika dia mendapatkan musibah, ia tidak sekedar bisa menahan diri dari emosional yang negatif bahkan ia sanggup merespon musibah tersebut dengan keridloan. Yaitu ,suatu keyakinan bahwa musibah, penderitaan dan kematian adalah takdir Alloh SWT dimana hati manusi harus rela dan ikhlas menerimanya. Dan sudah tentu, manusia yang mukmin ini akan mendapatkan keridloan Alloh SWT, karena mereka telah ridlo dengan keputusan Alloh SWT, ”rodliallohu ‘anhum wa radlu ‘anhu’, Alloh ridlo dengan mereka dan merekapun ridlo (dengan takdir ) Alloh. (Al Bayyinah 8).

Keempat

Muhsin, yaitu manusia yang secara kualitas keberimanan lebih tinggi dari muslim dan mukmin. Begitu tingginya hingga Alloh SWT mengekspresikan kepada mereka hingga berulang lima kali didalam Al Qur’an, dengan ekspresi wallahu yuhibbul muhsinin, Alloh mencintai orang-orang muhsin (yang selalu berbuat kebaikan dalam hidupnya). Lihatlah pada QS,Al Baqoroh 195, QS Ali imron 134 & 148, QS Al Maidah 13 dan Al Maidah 93.

Muhsin, terambil dari akar kata Ihsan. Ketika Nabi SAW ditanya malaikat Jibril tentang ihsan, Yang Mulia menjawab : “An ta’budalloha ka annaka taroh fa inlam takun taro fainnalloha yaroka, Engkau menyembah Alloh seolah melihatNya,jika engkau tidak mampu melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu”.(HR Muslim).Seorang ulama yang bernama Hasan Harrali mengatakan bahwa siapa saja yang tidak melihat dirinya ketika beribadah kepada Alloh SWT dan hanya melihat kepentinganNya.Serta siapa saja yang tidak melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain,sesungguhnya dia seorang muhsin.

Seorang yang muhsin, ketika mendapatkan kenikmatan, kesenangan atau kebahagiaan, ia bersyukur kepada Alloh SWT, dan wujud syukurnya tidak hanya dengan ucapan hamdalah dan meningkatkan kualitas ibadahnya, namun lebih dari itu, ia selalu mewujudkan kesyukurannya dengan berbuat baik kepada sesamanya tanpa melihat kepentingan dirinya.

Dan ketika ia tertimpa musibah, tidak hanya sekedar bersabar dan ridlo dengan musibahnya. Bahkan ia bersyukur saat setiap musibah menghampirinya. Inilah tingkat keimanan yang tertinggi, dan keimanan para sahabat juga seperti itu. Maka ketika mereka mendapatkan musibah, justru mereka berucap ‘Alhamdulillah ‘ala kulli halin, segala puji bagi Alloh atas segala sesuatu’.Dan manusia seperti inilah yang disebut Alloh dengan ‘khoirul bariyyah, The Best Human, yaitu sebaik-baiknya ciptaan’.

Dapat musibah bersyukur?. Bagi sebagian besar orang pertanyaan itu pantas, karena memang logika manusia pada umumnya menyatakan bahwa bersyukur jika mendapatkan kesenangan atau kenikmatan, Itu yang lazim !. Sedangkan musibah, kesusahan atau penderitaan tidaklah lazim untuk disyukuri !.

Mari kita diving, menyelam lebih dalam untuk memahami hakekat musibah, sehingga nantinya hati dan logika kita memahami bahwa memang pantas kalau seorang muhsin mendapatkan musibah kemudian bersyukur kepada Alloh SWT.

Pertama, musibah yang menimpa seorang beriman kepada Alloh, adalah sebagai ujian kepadanya. Agar dia bisa naik kelas dan derajat keberimanan yang lebih tinggi ( tentu jika dia sabar dan ridlo dengan musibahnya). Dalam dunia empiric atau dalam kehidupan disekolah, seorang yang mendapat ujian tentulah itu hal yang baik, lebih-lebih jika ia dengan ujiannya (yang ditempuhnya dengan susah payah) itu dinyatakan lulus sehingga naik kelas. Maka dengan ujian, seorang akan naik kelas, secara logika adalah hal-hal baik yang harus disyukuri.

Apalagi kalau kita hanya mengandalkan amal sholeh yang pahalanya countable, bisa dihitung, seperti membaca Al Qur’an, yang tiap hurufnya mendapat 10 pahala, dan juga membaca sholawat kepada Nabi SAW yang sekali baca juga mendapat 10 pahala. Demikian juga dengan bersedekah kita akan mendapatkan pahala 10 hingga berlipat-lipat balasannya. Apalagi jika amalan-amalan tersebut dilakukan pada bulan Romadlon, akan dilipatkan hingga 700 kali. Subhanallah!.

Namun, ingat pahala-pahala yang berjibun tersebut suatu saat akan menjadi zero pahala, ketika sekali saja kita berhasud kepada saudara lainnya. Karena menurut Rasulullah SAW, innal hasada ya’kulul hasanat kama ta’kulun nar al-hathab, sesungguhnya hasad (iri dan dengki ) bisa memakan semua (pahala) kebaikan sebagaimana api bisa membakar habis kayu bakar”.

Nah, saudaraku disaat seseorang lagi zero atau nol pahala tersebut.Kemudian disaat bersamaan Alloh berkehendak akan kebajikan kepadanya, Dia akan memberikan sedikit musibah sebagai ujian kepadanya. Dan siapapun yang sabar dan ridlo dalam menghadapi ujian tersebut, maka dia akan mendapatkan pahala yang uncountable, yaitu yang tidak terhitung banyaknya,” innama yuwaffa as shobirun ajrahum bighairi hisabin, sesungguhnya hanya orang-orang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas (uncountable)”Az Zumar 10.Maka, pahala seseorang yang asalnya nol setelah mendapatkan musibah,insya Alloh (jika bersabar dan ridlo) akan mendapatkan suntikan kembali pahala dariNya.Dan karena itu dia naik kelas dan derajatnya kepada yang lebih tinggi, tidak pantaskah ia dengan itu bersyukur kepada Alloh SWT ?.Jawabannya,adalah pantas banget deh.

Kedua, musibah adalah bukti dari idhhar (perwujudan) kekuasaan Alloh SWT. Dan tidak ada musibah yang menimpa hambaNYa kecuali hanya sedikit dari bukti perwujudan kekuasaanNya, ’walanudzii qonnahum minal ‘adzabil adnaa dunal ‘adzabil akbar…, dan sesungguhnya kami merasakan kepada mereka adzab yang kecil, bukan adzab yang besar...” (As sajadah 21)

Jadi, musibah apapun yang menimpa seseorang masih relative kecil dan dibawah kekuatan atau kemampuan manusia untuk mengatasi musibahnya,la yukallifullohu nafsan illa wus’aha, Alloh tidak memberi beban pada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu ketika seseorang dengan sepeda motornya ditabrak kendaraan lainnya, sehingga setirnya patah, kemudian didalam hatinya ia bersyukur bahwa bukan tangannya yang patah adalah sesuatu yang lazim dan logis.

Sebagaimana pada kisah seorang pemilik peternakan (ranch) kuda yang lokasinya dekat dengan hutan lindung yang lebat. Sebut saja namanya Mbah Karjo, ketika ia berada diluar kota, terjadi sesuatu pada ranch-nya. Dimana pintu gerbang utama dari kandang-kandang kudanya roboh, sehingga seluruh kudanya lepas dan lari ke hutan lindung, hilang. Dan ketika Si Mbah Karjo, kembali ke ranch nya dikabari oleh anak buahnya tentang hilangnya kuda-kuda tersebut. Dia justru sujud syukur seraya dalam sujudnya berucap alhamdulillah dengan agak keras dan didengar oleh para pegawainya.Salah seorang pegawai bertanya kepadanya,”Mbah, kenapa sujud syukur dengan musibah hilangnya kuda-kuda sampeyan?”, Mbah Karjo bangun dari sujudnya seraya berkata,”Bayangkan oleh kalian seandainya kalian dan saya sedang menunggangi kuda-kuda tersebut, maka yang akan hilang termasuk kita kan?, inilah yang baru saja saya syukuri?”. Subhanallah !, inilah manusia-manusia yang melihat musibah sebagai bagian dari unjuk kekuatan Alloh SWT, yang sudah tentu ada kekuatan Alloh yang lebih besar dari sekedar musibah yang menimpanya.

Ketiga, musibah yang terjadi didunia menurut Abdullah bin Abbas adalah tidak berarti dibandingkan dengan musibah yang terkait dengan agama dan akherat.

Ada orang yang marah-marah karena tertinggal kereta api yang tiketnya sudah dibeli. Padahal ketika ia ketinggalan sholat berjama’ah tidak ada dihatinya kecewa atau kemarahan. Ada orang yang marah-marah ketika uang yang ada dilaci telah hilang, padahal itu adalah uang terakhirnya. Namun ia tidak begitu sedih ketika kehilangan waktu sholat subuh karena terlambat bangun.

Ada orang yang marah-marah ketika ia tidak bisa memakan makanan yang telah dipesannya karena makanan itu telah basi dan berbau busuk. Namun ia tidak pernah menyesal dan sedih sedikitpun ketika memakan daging bangkai saudaranya dengan selalu mengghibahnya.

Jadi, lazimkah jika seseorang mendapat musibah didunia dan terlepas dari musibah agamanya, ia bersyukur ?. Tentu sangat lazim dan logis.

Keempat, dibalik setiap musibah pasti ada hikmahnya. Dan terkadang hikmah tersebut beriringan dengan musibah, namun terkadang datang setelah sekian lama musibah itu terjadi. Seperti kematian, harus disyukuri karena tanpanya maka dunia akan penuh sesak dengan manusia dan sulit bagi seseorang untuk mencari tempat tinggal.

Demikian pula dengan seseorang yang ketinggalan kereta api dan akhirnya naik bis yang lebih mahal dan menempuh perjalanan yang lebih lama, ternyata itu bukan musibah baginya, karena ternyata kereta api yang sedianya akan ia naiki anjlok dan menewaskan banyak penumpangnya.
Konon, ada seorang waliullah pada abad 14, yang berjalan kehausan di padang pasir di Baghdad. 

Tidak lama ia akhirnya menemukan sebuah oase, danau kecil di gurun, dengan cepatnya ia meminum air darinya. Di saat yang sama, seorang penguasa wilayah itu lewat dan melihat ada orang yang minum dari oase tersebut, maka ia memerintahkan para pengawalnya untuk mencegah waliulloh itu dan mengeluarkan air yang telah diminumnya.. Maka, waliullah itu ditangkap dan diangkat dengan posisi kepala dibawah seraya perutnya dipukuli bertubi-tubi. Waliullah itu berkata,”Apa salahku, sehingga kalian mendzolimi diriku?”. Tidak lama kemudian ia muntah, dan air yang telah diminumnya keluar, tapi air itu berwarna hijau kebiruan. Maka Raja itu berkata,”Wahai kekasih Alloh, aku melakukan itu karena ingin menyelamatkan anda dari racun dalam air yang anda minum!”.Maka waliulloh itu berterima kasih kepada raja tersebut yang telah menolong jiwanya.

Sungguh demikian pula Raja dari segala raja, yaitu Alloh SWT, tidak akan mendzolimi hambanya.”Sesungguhnya Alloh tidak mendzolimi kepada manusia sedikitpun,akan tetapi manusia itulah yang berbuat dzolim kepada diri mereka sendiri”,(Yunus 44). Ia hanya ingin menyelamatkan hambaNya lewat musibah yang ditimpakan kepadanya.

Itulah hakekat musibah, jika diselami manusia sepantasnya bersyukur kepada Alloh SWT Sang pemberi musibah. Memang sulit rasanya bersyukur disaat mendapatkan musibah, namun kita semua harus memiliki tekad untuk menjadi manusia-manusia yang dicintai Alloh. Kita berharap menjadi bagian dari ayatNya, Wallohu yuhibbul muhsinin.
Wallohu A’lam.

Ya Alloh jadikan kami termasuk al kayyis.




Sumber : disini

0 komentar :

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Post a Comment

Terimakasih banyak atas kunjungannya