Oleh: M.Junaidi Sahal
Busyri
Kesedihan dan kegembiraan, sukses dan kegagalan,
pertemuan dan perpisahan, cinta dan kebencian, hidup dan kematian,adalah
kenyataan yang pasti dihadapi oleh manusia. Dimana setiap orang pasti mengalami
hal yang sama untuk melalui dua sisi kehidupan tersebut. Yang berebeda pada
setiap orang adalah respon atau sikap dalam menghadapi kenyataan adanya dua
sisi kehidupan itu. Ada yang menghadapi kecintaan, kesenangan, kebahagiaan
pertemuan dan kehidupan dengan respon yang berlebihan. Seolah ia akan abadi dan
tidak berpisah dengan kenyataan yang menyenangkan itu. Dan ada pula yang
menatap setiap kesedihan, kegagalan, perpisahan, kebencian dan kematian dengan
respon yang berlebihan pula, seolah dia tidak akan menemuinya kembali.
Ketahuilah, apa yang anda kira abadi berada
dalam kebahagiaan itu,sungguh ia akan berpisah dengan anda. Dan apa yang anda
kira tidak akan menemui kebencian, kesengsaraan dan kematian, sungguh ia akan
menemui anda. Ingatlah !, malam yang disangka abadi akan berganti siang dengan
munculnya matahari dari ufuk timur, dan demikian juga dengan ketidakabadian
siang dengan lenyapnya matahari dibatas cakrawala barat sebagai pertanda
malampun tiba.
“Boleh jadi kamu
membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu…”. Demikian Alloh SWT katakan
dalam QS.Al.Baqoroh 216.
Manusia dalam menghadapi kenyataan hidup
tersebut terbagi kepada empat (4) karakteristik.
Pertama
Dengan kebahagiaan dan kenikmatan, ia
mengingkari bahwa itu semua dari Alloh SWT.Ia mengira semua kenikmatan itu
dihasilkan oleh dirinya sendiri, Dan apabila ia mendapatkan
musibah,kesengsaraan dan penderitaan dalam hidupnya ia tidak sabar bahkan
memprotes ketidakadilan Alloh SWT. Manusia model pertama ini adalah manusia yang
kafir, yaitu manusia yang sangat buruk perangainya, The Beast Human, dalam
bahasa Al Qur’an ,disebut dengan Syarrul Bariyyah. Bagaimana tidak disebut The
Beast Human, ia menikmati kehidupan tapi ingkar terhadap Sang Pemberi nikmat
hidup dan kehidupan. Dan manusia inilah yang telah diberi peringatan dengan
adzabNya yang pedih, ”Lain kafartum inna ‘adzabi la syadid, jika kalian ingkar (terhadap nikmat Alloh),
sesungguhnya adzabKu amatlah pedih.”QS.Ibrahim 7
Kedua
Muslim, yaitu manusia yang ketika mendapat
nikmat bersyukur kepadaNya dan ketika mendapatkan musibah ia bersabar. Inilah
tingkatan pertama dari orang-orang yang beriman. Yang ia bersyukur dengan
mengucapkan hamdalah ketika ia mendapatkan nikmat, misalnya selesai makan ia
bersyukur dengan mengucapkan hamdalah, alhamdulillahirobbil alamin. Namun tidak
jarang, manusia pada kualitas iman pada karakteristik muslim ini, baru
mengucapkan hamdalah setelah ‘glegekan’ atau sendawa. Dan ketika mendapatkan musibah ia
bisa bersabar, yaitu pada tataran bisa menahan diri untuk tidak emosional
sekalipun masih belum bisa menerima terhadap musibah tersebut.
Ketiga
Mukmin, yaitu manusia yang memiliki kualitas
keberimanan melebihi seorang muslim. Orang-orang yang mukmin, ketika
mendapatakan nikmat, ia bersyukur dan ketika tertimpa musibah ia ridlo
dengannya.Ini yang mungkin dimaksud Rosululloh SAW dengan sabdanya : “ ‘Ajaban li
amril mukmin…,Sebuah keajaiban bagi
seorang mukmin,jika dia mendapat nikmat ,bersyukur dan jika mendapatkan musibah
ia bersabar (yaitu ridlo kepadaNya)”. Bagi seorang mukmin tidak cukup merespon
nikmat dengan hamdalah tapi ditambah dengan memperbaiki kualitas ibadahnya
kepada Alloh SWT. Demikian pula ketika dia mendapatkan musibah, ia tidak
sekedar bisa menahan diri dari emosional yang negatif bahkan ia sanggup
merespon musibah tersebut dengan keridloan. Yaitu ,suatu keyakinan bahwa
musibah, penderitaan dan kematian adalah takdir Alloh SWT dimana hati manusi
harus rela dan ikhlas menerimanya. Dan sudah tentu, manusia yang mukmin ini
akan mendapatkan keridloan Alloh SWT, karena mereka telah ridlo dengan
keputusan Alloh SWT, ”rodliallohu ‘anhum wa radlu ‘anhu’, Alloh ridlo dengan mereka dan merekapun ridlo
(dengan takdir ) Alloh. (Al Bayyinah 8).
Keempat
Muhsin, yaitu manusia yang secara kualitas
keberimanan lebih tinggi dari muslim dan mukmin. Begitu tingginya hingga Alloh
SWT mengekspresikan kepada mereka hingga berulang lima kali didalam Al Qur’an,
dengan ekspresi wallahu yuhibbul muhsinin, Alloh mencintai orang-orang muhsin (yang selalu
berbuat kebaikan dalam hidupnya). Lihatlah pada QS,Al Baqoroh 195, QS Ali imron 134
& 148, QS Al Maidah 13 dan Al Maidah 93.
Muhsin, terambil dari akar kata Ihsan. Ketika Nabi SAW ditanya malaikat Jibril
tentang ihsan, Yang Mulia menjawab : “An ta’budalloha ka annaka taroh fa
inlam takun taro fainnalloha yaroka, Engkau menyembah Alloh seolah melihatNya,jika engkau tidak mampu
melihatNya sesungguhnya Dia melihatmu”.(HR Muslim).Seorang ulama yang bernama
Hasan Harrali mengatakan bahwa siapa saja yang tidak melihat dirinya ketika
beribadah kepada Alloh SWT dan hanya melihat kepentinganNya.Serta siapa saja
yang tidak melihat dirinya pada posisi kebutuhan orang lain,sesungguhnya dia
seorang muhsin.
Seorang yang muhsin, ketika mendapatkan
kenikmatan, kesenangan atau kebahagiaan, ia bersyukur kepada Alloh SWT, dan
wujud syukurnya tidak hanya dengan ucapan hamdalah dan meningkatkan kualitas
ibadahnya, namun lebih dari itu, ia selalu mewujudkan kesyukurannya dengan
berbuat baik kepada sesamanya tanpa melihat kepentingan dirinya.
Dan ketika ia tertimpa musibah, tidak hanya
sekedar bersabar dan ridlo dengan musibahnya. Bahkan ia bersyukur saat setiap
musibah menghampirinya. Inilah tingkat keimanan yang tertinggi, dan keimanan
para sahabat juga seperti itu. Maka ketika mereka mendapatkan musibah, justru
mereka berucap ‘Alhamdulillah ‘ala kulli halin, segala puji bagi Alloh atas segala sesuatu’.Dan manusia seperti
inilah yang disebut Alloh dengan ‘khoirul bariyyah, The Best Human, yaitu sebaik-baiknya
ciptaan’.
Dapat musibah bersyukur?. Bagi sebagian besar
orang pertanyaan itu pantas, karena memang logika manusia pada umumnya
menyatakan bahwa bersyukur jika mendapatkan kesenangan atau kenikmatan, Itu
yang lazim !. Sedangkan musibah, kesusahan atau penderitaan tidaklah lazim
untuk disyukuri !.
Mari kita diving, menyelam lebih dalam untuk
memahami hakekat musibah, sehingga nantinya hati dan logika kita memahami bahwa
memang pantas kalau seorang muhsin mendapatkan musibah kemudian bersyukur kepada
Alloh SWT.
Pertama, musibah yang menimpa seorang beriman
kepada Alloh, adalah sebagai ujian kepadanya. Agar dia bisa naik kelas dan
derajat keberimanan yang lebih tinggi ( tentu jika dia sabar dan ridlo dengan
musibahnya). Dalam dunia empiric atau dalam kehidupan disekolah, seorang yang
mendapat ujian tentulah itu hal yang baik, lebih-lebih jika ia dengan ujiannya
(yang ditempuhnya dengan susah payah) itu dinyatakan lulus sehingga naik kelas.
Maka dengan ujian, seorang akan naik kelas, secara logika adalah hal-hal baik
yang harus disyukuri.
Apalagi kalau kita hanya mengandalkan amal
sholeh yang pahalanya countable, bisa dihitung, seperti membaca Al Qur’an, yang
tiap hurufnya mendapat 10 pahala, dan juga membaca sholawat kepada Nabi SAW
yang sekali baca juga mendapat 10 pahala. Demikian juga dengan bersedekah kita
akan mendapatkan pahala 10 hingga berlipat-lipat balasannya. Apalagi jika
amalan-amalan tersebut dilakukan pada bulan Romadlon, akan dilipatkan hingga
700 kali. Subhanallah!.
Namun, ingat pahala-pahala yang berjibun
tersebut suatu saat akan menjadi zero pahala, ketika sekali saja kita berhasud
kepada saudara lainnya. Karena menurut Rasulullah SAW, innal hasada ya’kulul
hasanat kama ta’kulun nar al-hathab, sesungguhnya hasad (iri dan dengki ) bisa
memakan semua (pahala) kebaikan sebagaimana api bisa membakar habis kayu
bakar”.
Nah, saudaraku disaat seseorang lagi zero atau
nol pahala tersebut.Kemudian disaat bersamaan Alloh berkehendak akan kebajikan
kepadanya, Dia akan memberikan sedikit musibah sebagai ujian kepadanya. Dan
siapapun yang sabar dan ridlo dalam menghadapi ujian tersebut, maka dia akan
mendapatkan pahala yang uncountable, yaitu yang tidak terhitung banyaknya,”
innama yuwaffa as shobirun ajrahum bighairi hisabin, sesungguhnya hanya
orang-orang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas
(uncountable)”Az Zumar 10.Maka, pahala seseorang yang asalnya nol setelah
mendapatkan musibah,insya Alloh (jika bersabar dan ridlo) akan mendapatkan
suntikan kembali pahala dariNya.Dan karena itu dia naik kelas dan derajatnya
kepada yang lebih tinggi, tidak pantaskah ia dengan itu bersyukur kepada Alloh
SWT ?.Jawabannya,adalah pantas banget deh.
Kedua, musibah adalah bukti dari idhhar
(perwujudan) kekuasaan Alloh SWT. Dan tidak ada musibah yang menimpa hambaNYa
kecuali hanya sedikit dari bukti perwujudan kekuasaanNya, ’walanudzii qonnahum
minal ‘adzabil adnaa dunal ‘adzabil akbar…, dan sesungguhnya kami merasakan
kepada mereka adzab yang kecil, bukan adzab yang besar...” (As sajadah 21)
Jadi, musibah apapun yang menimpa seseorang
masih relative kecil dan dibawah kekuatan atau kemampuan manusia untuk
mengatasi musibahnya,la yukallifullohu nafsan illa wus’aha, Alloh tidak memberi
beban pada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu ketika
seseorang dengan sepeda motornya ditabrak kendaraan lainnya, sehingga setirnya
patah, kemudian didalam hatinya ia bersyukur bahwa bukan tangannya yang patah
adalah sesuatu yang lazim dan logis.
Sebagaimana pada kisah seorang pemilik
peternakan (ranch) kuda yang lokasinya dekat dengan hutan lindung yang lebat.
Sebut saja namanya Mbah Karjo, ketika ia berada diluar kota, terjadi sesuatu
pada ranch-nya. Dimana pintu gerbang utama dari kandang-kandang kudanya roboh,
sehingga seluruh kudanya lepas dan lari ke hutan lindung, hilang. Dan ketika Si
Mbah Karjo, kembali ke ranch nya dikabari oleh anak buahnya tentang hilangnya
kuda-kuda tersebut. Dia justru sujud syukur seraya dalam sujudnya berucap
alhamdulillah dengan agak keras dan didengar oleh para pegawainya.Salah seorang
pegawai bertanya kepadanya,”Mbah, kenapa sujud syukur dengan musibah hilangnya
kuda-kuda sampeyan?”, Mbah Karjo bangun dari sujudnya seraya berkata,”Bayangkan
oleh kalian seandainya kalian dan saya sedang menunggangi kuda-kuda tersebut,
maka yang akan hilang termasuk kita kan?, inilah yang baru saja saya syukuri?”.
Subhanallah !, inilah manusia-manusia yang melihat musibah sebagai bagian dari
unjuk kekuatan Alloh SWT, yang sudah tentu ada kekuatan Alloh yang lebih besar
dari sekedar musibah yang menimpanya.
Ketiga, musibah yang terjadi didunia menurut
Abdullah bin Abbas adalah tidak berarti dibandingkan dengan musibah yang
terkait dengan agama dan akherat.
Ada orang yang marah-marah karena tertinggal
kereta api yang tiketnya sudah dibeli. Padahal ketika ia ketinggalan sholat
berjama’ah tidak ada dihatinya kecewa atau kemarahan. Ada orang yang
marah-marah ketika uang yang ada dilaci telah hilang, padahal itu adalah uang
terakhirnya. Namun ia tidak begitu sedih ketika kehilangan waktu sholat subuh
karena terlambat bangun.
Ada orang yang marah-marah ketika ia tidak bisa
memakan makanan yang telah dipesannya karena makanan itu telah basi dan berbau
busuk. Namun ia tidak pernah menyesal dan sedih sedikitpun ketika memakan
daging bangkai saudaranya dengan selalu mengghibahnya.
Jadi, lazimkah jika seseorang mendapat musibah
didunia dan terlepas dari musibah agamanya, ia bersyukur ?. Tentu sangat lazim
dan logis.
Keempat, dibalik setiap musibah pasti ada
hikmahnya. Dan terkadang hikmah tersebut beriringan dengan musibah, namun
terkadang datang setelah sekian lama musibah itu terjadi. Seperti kematian,
harus disyukuri karena tanpanya maka dunia akan penuh sesak dengan manusia dan
sulit bagi seseorang untuk mencari tempat tinggal.
Demikian pula dengan seseorang yang ketinggalan
kereta api dan akhirnya naik bis yang lebih mahal dan menempuh perjalanan yang
lebih lama, ternyata itu bukan musibah baginya, karena ternyata kereta api yang
sedianya akan ia naiki anjlok dan menewaskan banyak penumpangnya.
Konon, ada seorang waliullah pada abad 14, yang
berjalan kehausan di padang pasir di Baghdad.
Tidak lama ia akhirnya menemukan
sebuah oase, danau kecil di gurun, dengan cepatnya ia meminum air darinya. Di
saat yang sama, seorang penguasa wilayah itu lewat dan melihat ada orang yang
minum dari oase tersebut, maka ia memerintahkan para pengawalnya untuk mencegah
waliulloh itu dan mengeluarkan air yang telah diminumnya.. Maka, waliullah itu
ditangkap dan diangkat dengan posisi kepala dibawah seraya perutnya dipukuli
bertubi-tubi. Waliullah itu berkata,”Apa salahku, sehingga kalian mendzolimi
diriku?”. Tidak lama kemudian ia muntah, dan air yang telah diminumnya keluar,
tapi air itu berwarna hijau kebiruan. Maka Raja itu berkata,”Wahai kekasih
Alloh, aku melakukan itu karena ingin menyelamatkan anda dari racun dalam air
yang anda minum!”.Maka waliulloh itu berterima kasih kepada raja tersebut yang
telah menolong jiwanya.
Sungguh demikian pula Raja dari segala raja,
yaitu Alloh SWT, tidak akan mendzolimi hambanya.”Sesungguhnya Alloh tidak
mendzolimi kepada manusia sedikitpun,akan tetapi manusia itulah yang berbuat
dzolim kepada diri mereka sendiri”,(Yunus 44). Ia hanya ingin menyelamatkan hambaNya lewat musibah yang
ditimpakan kepadanya.
Itulah hakekat musibah, jika diselami manusia
sepantasnya bersyukur kepada Alloh SWT Sang pemberi musibah. Memang sulit
rasanya bersyukur disaat mendapatkan musibah, namun kita semua harus memiliki
tekad untuk menjadi manusia-manusia yang dicintai Alloh. Kita berharap menjadi
bagian dari ayatNya, Wallohu yuhibbul muhsinin.
Wallohu A’lam.
Ya Alloh jadikan kami
termasuk al kayyis.
Sumber : disini
0 komentar :
Post a Comment
Terimakasih banyak atas kunjungannya