Siaran Pers
Kementerian Komunikasi dan Informasi mengenai Rancangan Peraturan Menteri (RPM)
Tentang Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi mendapat penolakan dari Federasi
Serikat Pekerja BUMN Strategis. Ketua Umum FSP BUMN Strategis Wisnu Adhi
Wuryanto menolak RPM tersebut karena berisi tentang pengaturan dimana
Penyelenggaraan Jasa Teleponi Dasar tidak diselenggarakan oleh penyelenggara
jaringan tetap lokal, jaringan bergerak seluler dan jaringan bergerak satelit,
tapi oleh penyelenggara jasa teleponi dasar melalui jaringan telekomunikasi dan
atau satelit asing. Pengaturan ini
sebelumnya sudah pernah diajukan untuk direvisi melalui Peraturan Pemerintah
namun tidak disetujui oleh Presiden Joko Widodo.
Tampaknya
Menteri Kominfo Rudiantara mengupayakan “jalan melingkar” setelah Revisi
terhadap PP Nomor 52 Tahun 2000 dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tidak disetujui
Presiden. Trik yang ditempuh adalah dengan cara mengubahnya menjadi
Peraturan Menteri, karena dengan hanya mengubah Peraturan Menteri tidak perlu
persetujuan Presiden.
Langkah Presiden
Joko Widodo sebenarnya sudah on the track dengan mengeluarkan Peraturan
Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur
Strategis, termasuk di dalamnya pembanguan jaringan pita lebar untuk
peningkatan jangkauan broadband yang dikenal dengan proyek Palapa Ring.
Kementerian terkait mestinya konsentrasi mengawal proyek besar itu agar selesai
sesuai jadwal yaitu beroperasi di tahun 2019. Tidak perlu mengutak atik sesuatu
yang sudah berjalan yang justru berpotensi menimbulkan kegaduhan baru.
“Keberhasilan
TELKOM yang notabene berstatus BUMN dalam menjalankan pembangunan dan bisnis
telekomunikasi di era kompetisi yang sangat sengit dan terbuka, seharusnya
menjadi role model bagi semua pihak dan menjadi bukti yang nyata bahwa anak
bangsa ini punya potensi dan kemampuan untuk bersaing secara global.
Telkom telah
menerapkan strategi jangka panjang yang sangat tepat dalam mengembangkan
jaringannya. Dibarengi dengan semangat nasionalisme NKRI dan agent pembangunan,
Telkom membangun jaringan di seluruh pelosok negeri, tidak peduli apakah akan
untung atau buntung, sehingga saat ini telah meng-cover 95% wilayah Indonesia
berpenduduk. Berbeda dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya yang kebanyakan
hanya mau beroperasi di wilayah-wilayah gemuk yang profit saja.," katanya di
Bandung, Jumat (15/12/2017).
Namun demikian, kata Wisnu, dengan RPM Penyelenggara Jasa, pihak Kominfo tampaknya ingin
mengakomodasi keinginan pihak tertentu agar mereka ikut menikmati asset yang
dimiliki Telkom. Walaupun selama ini mereka juga sudah diberi kesempatan oleh
Telkom untuk menjalin kerjasama Business to Business (B2B) dalam memanfaatkan
jaringan milik Telkom. Rupanya mereka ingin lebih dan memanfaatkan tangan pemerintah.
“Kami hanya
berharap Menkominfo sadar sesadar-sadarnya bahwa RPM Penyelenggaraan Jasa
tersebut yang isinya lebih memanjakan operator milik asing adalah langkah yang
keliru, baik secara formal maupun substansial. Pertama, Undang Undang Nomor 36 Tahun
1999 sama sekali tidak mengamanatkan hal yang diatur dalam RPM tersebut. Dengan
demikian maka RPM ini jelas-jelas bertentangan dengan Undang Undang. Kedua, Bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 52 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi,
karena dengan pengaturan dalam RPM tersebut maka para pelaku bisnis yang
mayoritas sahamnya dimiliki asing itu akan semakin malas untuk ikut membangun
jaringan di Indonesia. Mestinya mereka masuk ke Indonesia memberi nilai tambah
nasional, bukan menggerogoti milik Indonesia” Wisnu menegaskan.
Menurut
Wisnu, secara politis kebijakan ini bisa dimaknai bahwa
bangsa ini semakin terpuruk pada kemauan asing. Padahal presiden Jokowi telah
menetapkan program nawacita, bahkan dalam salah satu kampanye Pilpres yang lalu
Presiden Jokowi berjanji akan membeli kembali saham Indosat yang telah
terlanjur dijual pada pemerintahan Presiden Megawati. Kini, boro-boro membeli
saham Indosat, bahkan asset yang nyata-nyata milik BUMN malah akan dibagi-bagi.
Belum lagi
kalau kita analisis dari aspek legalitas dan tata cara pembuatan peraturan
perundang-undangan. Memang, Menteri punya wewenang mengatur Penyelenggaraan
Jasa Telekomunikasi seperti yang diamanahkan PP 52 Tahun 2000, tetapi Peraturan
Menteri (PM) tentunya tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Pemerintah,
demikian pula peraturan pemerintah tidak boleh bertentangan dengan Undang
Undang, demikian seterusnya. Jika lingkungan bisnis membutuhkan sebuah
pengaturan baru, atau UU Nomor 36 Tahun 1999 yang mengatur telekomunikasi
sudah dianggap ketinggalan, maka menurut kami tahapan perubahannya harus
dimulai dengan mengubah Undang Undang. Dalam hal ini kita harus
hati-hati, karena telekomunikasi adalah cabang produksi yang penting dan
dikuasai negara, maka pengaturan yang gegabah dapat merugikan kepentingan
masyarakat banyak.
"Kami sebagai pekerja di BUMN sangat menentang Rancangan Peraturan
Menteri tersebut karena akan merugikan bangsa. Kami akan lakukan Judicial
Review ke Mahkamah Agung dan turun ke jalan mengerahkan ribuan anggota Federasi
Serikat Pekerja BUMN Strategis menyuarakan aspirasi ini, jika Menkominfo tetap
nekad menyetujui Rancangan Peraturan Menteri tentang Jasa Telekomunikasi
tersebut." pungkasnya. (*)
Informasi lebih lanjut, silakan hubungi:
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis
Wisnu Adhi Wuryanto
HP: 08122013910
e-mail: wisnuadhiwuryanto@gmail.com
0 komentar :
Post a Comment
Terimakasih banyak atas kunjungannya